Kontroversi pasal kenaikan Bahan
Bakar Minyak dalam Rancangan UU APBN-P 2012 telah menutup mata munculnya
pasal-pasal lain. Padahal, diam-diam pemerintah dan DPR menyepakati alokasi
triliunan rupiah dana untuk korban lumpur Lapindo. Ada dugaan barter politik
dalam pengesahan RUU tersebut.
Telepon genggam Yusril Ihza
Mahendra mendadak berdering di tengah diskusi kontroversi Pasal 7 ayat 6 dan 6a
UU APBN-P di Ruang Wartawan DPR, Rabu siang pekan lalu. Sejumlah peserta
tercengang. Tak pelak Prioyo Budi Santoso yang menjadi lawan diskusi
berkelakar. “Telepon dari SBY ya,” tanya politikus Golkar ini. Yusril tak mau
kalah dengan, menjawab, “Bukan, ini dari Bakrie.” Jawaban itu membuat peserta
diskusi tertawa, gerr.
Telah menjadi bahasan umum, selain
kontroversi perdebatan pasal 7 ayat 6(a), yang mendorong sejumlah pihak
berencana melakukan gugatan judicial review. Publik juga tengah menggunjingkan
kehadiran pasal 18 dan 19 dari RUU APBN-P 2012. Dimana pasal tersebut mengamanatkan
alokasi anggaran triliunan rupiah dari pemerintah untuk ganti rugi korban
lumpur Lapindo. Yang nota bene, publik menginginkan menjadi tanggungjawab PT
Lapindo Brantas perusahaan milik Ketua Umum Golkar itu.
Kehadiran dua pasal itu
menghembuskan kabar telah terjadi barter kepentingan antara Partai Demokrat dan
Golkar, saat paripurna pembahasan kenaikan harga BBM pekan lalu. Dengan sikap
Golkar yang memberikan keleluasaan pemerintah mengatur harga BBM jika terjadi
kenaikan harga hingga 15 persen. Diartikan telah menangkal keinginan sejumlah
partai politik untuk menolak total kenaikan. Hal ini dianggap menyelamatkan
kepentingan SBY. Sementara dengan diselesaikannya kasus Lapindo akan
memperbaiki citra Aburizal.
Ganti rugi akibat semburan lumpur
oleh pemerintah dinilai banyak pihak telah membebani anggaran negara. Tercatat,
sejak 2007 pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk penanganan lumpur
Lapindo hingga Rp 6,2 triliun. Namun Yusril yang mengajukan gugatan pasal 7
ayat 6(a) mengaku tak berminat melakukan gugatan kepada pasal 18 UU APBN-P
2012. “Saya fokus ke pasal 7. Soal (pasal 18) itu kan sudah ada barter antara
Golkar dan Demokrat,” katanya.
Pihak beringin tak pelak buru-
buru membantah tudingan barter pasal dalam UU APBN-P itu. Wakil Sekjen Bidang
Energi Partai Golkar Satya W Yudha, Kamis pekan lalu, menyatakan tudingan itu
sama sekali tak masuk akal. “Saya tahu persis dari menit ke menit, tidak ada
itu di lobi,” bantahnya.
Tudingan itu menurutnya amat naif,
sebab sehari sebelum paripurna, Golkar sudah tegas menyatakan emoh mendukung
kenaikan BBM pada 1 April. Ia berkilah, jika barter terjadi, logikanya Golkar
yang mengikuti pendapat Demokrat, bukan sebaliknya.“Logikanya gimana kalau kita
diikuti banyak orang, kok kita yang dibarter. Nggak mungkin itu.”
Negosiator dalam lobi antarfraksi
di paripurna ini kekeuh masalah lumpur Lapindo adalah masalah Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), lembaga yang dibentuk melalui Peraturan
Presiden Nomor 14 Tahun 2007. BPLS dari tahun ke tahun, sejak 2007 hingga kini,
dianggarkan dalam APBN. Ada atau tidak ada pasal, menurut dia, anggaran buat
Lapindo pasti ada karena penanganannya sudah menjadi kewajiban pemerintah,
bukan perusahaan. “Itu murni masalah BPLS. Saya bertanggungjawab atas apa yang
saya omongkan.” kata Satya.
Besarnya beban negara mengurus
semburan lumpur memang memprihatinkan. Sejumlah anggota dewan mempersoalkan
mengapa pemerintah masih terus terbebani ganti rugi korban Lapindo di tiga desa
di luar wilayah berdampak.
Sedang berdasarkan fakta yang
ditemukan, rombongan anggota dewan yang menyambangi kawasan itu, Sabtu dua
pekan lalu, hingga kini warga di wilayah berdampak baru menerima 20 persen
ganti rugi dari Lapindo Brantas. Warga menerima ganti rugi 1 juta per meter
untuk tanah dan 1,5 juta untuk bangunan. “Ini yang nggak adil,” tutur
legislator asal PKS, Mahfud Sidiq.
Badan Pemeriksa Keuangan, menurut
dia, perlu melakukan audit terhadap pelaksanaan ganti rugi, baik yang dilakukan
Lapindo Brantas maupun pemerintah. Selain itu, tanggungjawab Lapindo yang belum
ditunaikan secara penuh mengakibatkan penundaan pembayaran dari pemerintah.
Padahal sebelum nya Aburizal berjanji akan melunasinya tahun ini. “Kita tunggu
Bakrie melaksanakan janjinya,” kata Anggota Badan Anggaran DPR Memed Sosiawan.
Anggota Komisi Energi DPR Dewi
Aryani menggarisbawahi share bantuan dari kedua pihak harus jelas, sehingga
berimbang. Meski dibantu anggaran APBN, tidak berarti pihak kontraktor,
perusahaan terkait lepas tanggungjawab. Penggunaan APBN tahun ini sebesar Rp 1,53
triliun itu harus transparan. Termasuk bagaimana pembagian tugas antara pihak
Lapindo dan pemerintah, sehingga masyarakat tahu progres penanganannya.
Pelaksanaan ganti rugi, menurut
dia haruslah sesuai amanat pasal 18 & 19 dan bisa dipertanggungjawabkan
dalam keuangan negara. Namun, ia menyayangkan realisasi penanganan dari
pemerintah selama ini yang tak maksimal. “Rata-rata hanya 40 persen anggaran
terserap,” katanya.
Klausul memberikan bantuan korban
Lapindo memang diakuinya merupakan kelanjutan dari keputusan tahun-tahun
sebelumnya. UU APBN mengamatkan pemerintah bertanggungjawab pada tiga titik di
luar daerah berdampak, yakni Desa Besuki, Kedung Cangkring, Penjarakan. Di
samping sembilan RT di tiga desa: Desa Mindi, Jatirejo, dan Siring Barat.
Namun menurut Memed, tak
terserapnya anggaran bantuan pemerintah ini terganjal oleh molornya realisasi
ganti rugi dari perusahaan. Pemerintah tak akan membayar selama perusahaan
belum membayar. “Nggak mungkin pemerintah membayar duluan. Jika yang intinya
belum dibayar, tapi pinggirpinggirnya sudah dibayar bisa perang nanti.”[] Anom
B Prasetyo