Menkeu OJK Dibiayai APBN

Pemerintah optimistis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terbentuk tahun ini. Dari segi pendanaan, pemerintah pun siap menggunakan dana APBN untuk membiayai pembentukan lembaga itu bila industri perbankan dan pelaku sektor keuangan berkeberatan untuk membayar iuran.
"Intinya dari APBN. Seharusnya sudah dianggarkan pada 2011. Kalau tidak dimungkinkan untuk langsung dibebankan kepada industri, pemerintah akan tanggung di APBN atau dalam bentuk beban lainnya hingga ada kesepakatan," kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo usai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pelantikan Panglima TNI dan KSAL di Istana Negara, Jakarta, Selasa (28/9).
Menkeu menjelaskan, konsep awal pembentukan OJK adalah ditanggung kalangan industri. Pola itu sudah diterapkan di sejumlah negara. Sebab, lanjutnya, pemberlakuan OJK bertujuan untuk membangun sektor perbankan dan keuangan yang sehat "Pemerintah menyiapkan masa transisi selama tiga tahun. Selama periode itu, pemerintah akan melakukan sosialisasi hingga ada kata sepakat di kalangan industri bersangkutan," jelas dia.
Menurut Menkeu, OJK sangat diperlukan guna terlaksananya prinsip-prinsip good corporate governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Saat ini, pemerintah telah membentuk Tim Penyusun yang secara khusus bertugas untuk menyosialisasikan pemberlakuan OJK di Indonesia.
Hingga kini, pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menemukan formula yang tepat tentang besaran iuran dan siapa yang harus menanggung fee. "Kalau disebutkan jumlahnya sampai Rp 20 triliun.pasti itu tidak betul. Jumlahnya, tentu harus disampaikan oleh Tim Penyusun. Saya tidak bisa menjelaskannya," kata Menkeu.
Sikap DPR
Di tempat terpisah. Ketua Pansus RUU OJK Nusron Wahid mengatakan, biaya pembentukan OJK lebih baik dipenuhi dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) saja. Dia memperkirakan, biaya yang dibutuhkan untuk pembentukan badan pengawasan itu tidak terlalu besar seperti yang dikhawatirkan.
Menurut dia, besaran biaya yang dibutuhkan tergantung proposal yang diajukan oleh pemerintah. "Besarannya memang belum dihitung, namun saya pikir lebih baik dari APBN," kata Nusron usai rapat dengar pendapat umum dengan para pakar ekonomi dan perbankan dengan agenda masukan bagi RUU OJK di Gedung DPR, kemarin.
Hal senada diungkapkan anggota Pansus OJK dari Fraksi PKS Memed Sosiawan. Menurut dia, biaya pembentukan OJK memang harus dibebankan kepada APBN. Karena hal tersebut merupakan otoritas lembaga negara. "Biaya pembentukannya memang harus dari APBN, tetapi nanti biaya operasionalnya akan diatur lebih lanjut lagi dalam pasal-pasalnya, mungkin nanti kami akan pisahkan yang mana bisa ditanggung oleh negara dan yang mana ditanggung oleh industri," jelas Memed.
Mengenai kekhawatiran bengkak-nya biaya pembentukan sehingga membebani APBN, menurut Memed, hal tersebut merupakan risiko. Namun, hingga saat ini belum ada perhitungan pasti mengenai besaran biaya pembentukan OJK tersebut. "Solusi lain penambahan biaya pembentukan dari sumber dana lain di luar APBN memang tidak ada, karena ini amanat UU ya hanya dibebankan kepada APBN," kata dia.
Anggota Pansus OJK dari Fraksi Demokrat Achsanul Qosasih mengatakan, biaya yang dibutuhkan untuk pembentukan OJK dipastikan tidak akan membebani APBN. "Biaya yang dibutuhkan tidak terlalu besar, jika ada yang mengatakan akan membutuhkan dana sebesar Rp 20 triliun,itu sama sekali tidak benar," kata Achsanul.
Dia menjelaskan, perkiraan biaya yang dibutuhkan tidak terlalu besar karena sumber daya manusianya sudah tersedia dan gedungnya pun sudah ada. Sumber daya manusianya adalah orang-orang dari Bank Indonesia dan Bapepam-LK, sedangkan gedungnya milik Bank Indonesia.
"Untuk membentuk sebuah lembaga baru, yang paling mahal adalah sumber daya manusianya dan gedungnya, namun ini kan sudah ada semua, jadi tidak akan terlalu membebani APBN," kata Achsanul.
Sedangkan untuk biaya operasional, kata dia, akan dikaji dalam pasal RUU OJK tersebut Apakah sebagian akan dibebankan kepada industri atau semua ditanggung oleh pemerintah.
Isi UU OJK
Pansus RUU OJK kemarin mengundang sejumlah ekonom dan mantan pejabat bank sentral. Kalangan ekonom menilai, pembahasan OJK masih abstrak karena rincian mengenai biaya operasional dan sistem penggajian karyawan belum jelas. "Menurut saya harus jelas perinciannya, berapa belanja modal, biaya operasional, dan gaji karyawannya. Lebih gampangnya saja, misalnya ba-gaimana soal gedung, apakah harus gedung baru atau gedung lama direnovasi," papar Fauzi Ichsan, ekonom senior Standard Chartered Bank.
Menurut Fauzi, timpangnya besaran gaji karyawan BI dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) bisa membuat OJK tidak efisien. Hingga kini, DPR maupun pemerintah tidak menjelaskan apakah gaji pengawas OJK mengikuti standar gaji pengawas BI atau Bapepam-LK.
Dia mengingatkan, kejadian krisis di Amerika Serikat juga dipicu kasus semacam itu. Gaji para pengawas OJK Amerika Serikat, yaitu Securities and Exchange Commission (SEC), lebih rendah daripada gaji para karyawan di perusahaan swasta, terutama kawasan Wall Street. Sebab itu, para pengawas andal di SEC memutuskan untuk hijrah ke industri yang seharusnya mereka regulasikan. "Mereka melihat lebih menguntungkan bekerja di perusahaan semacam Goldman Sachs dan lainnya. Sebab itu, SEC menjadi ambrol dan terjadilah krisis global," kata Fauzi.
Kepala Ekonom Danareksa Institut Purbaya Yudhisadewa melihat adanya niat pemerintah untuk membentuk lembaga yang sangat kuat dan tidak bertanggung jawab terhadap institusi mana pun. Di negara lain, OJK rata-rata masih berada dibawah komando Kementerian Keuangan.
Purbaya juga mengingatkan, perlunya mempertegas wewenang BI dalam rangka memperoleh data atau informasi dari OJK. Jika OJK benar-benar independen dari institusi mana pun, bakal berbahaya ketika terjadi krisis. "Pada 2008, BI berhasil menyelamatkan sistem perbankan, bukan karena early warning system. Tapi, karena BI memiliki semacam insting bahwa akan terjadi sesuatu di industri perbankan jika tidak ditangani dengan baik. Itu karena BI memiliki wewenang yang jelas dalam pengawasan perbankan," tutur Purbaya.
Menurut Nusron Wahid, RDP dengan para ekonom dan pakar lainnya itu merupakan RDP terakhir. Dari 28 anggota pansus, RDP kemarin hanya diikuti 11 anggota. Setelah RDP. Pansus akan memasuki fase daftar inventarisasi masalah (DIM). Dalam fase ini. Pansus bakal serius mencari jalan yang terbaik untuk menuntaskan RUU OJK. "Apa pun keputusan yang diambil, harus didukung oleh semua pihak, baik dari BI, Kemenkeu, maupun industri," ujar Nusron.
Dalam rapat bersama dengan Pansus OJK di DPR, kemarin, mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah menolak keberadaan OJK. Dia justru mengusulkan pasal 34 UU No 3 Ta-hun 2004 tentang BI sebaiknya dicabut.
Pasal 34 UU No 3/2004 memang menjadi acuan oleh tim perumus OJK. Pasal itu menyebutkan, tugas pengawasan bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen.
Menurut Burhanuddin, yang menjadi pekerjaan rumah atas fungsi pengawasan perbankan adalah perbaikan atas institusi BI. "OJK tidak menjamin bisa menyelesaikan permasalahan bila terjadi krisis. Itu amanat UU, namun masih bisa direvisi," jelas dia.
Dia menjelaskan, perbaikan mendasar yang bisa dilakukan BI saat ini adalah ketersediaan informasi yang cepat dan akurat, tenaga ahli yang mumpuni, serta kekuasaan dalam perannya sebagai bank sentral. Bila tetap ngotot OJK berdiri di luar BI, Indonesia akan menjadi negara aneh. Pasalnya, hampir seluruh negara justru meleburkan fungsi OJIC-nya kembali ke bank sentral.

"Dulu trennya begitu. Saat krisis yang terjadi di 1997-1998. IMF menyarankan kepada kita kalau (fungsi pengawasan) dipisahkan dan masuk dalam letter of intent. Kemudian harus masuk ke undang-undang. Sekarang semuanya gabung. Malah kalau pakai OJK jadi aneh sendiri," ujar dia.
Novy Lumanauw dan Aries Cahyadi
http://bataviase.co.id/node/398280